Mon. Dec 23rd, 2024

Pustakamanah.com – Kata Program Director Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani kepada media di Jakarta, “Atas nama masa depan, pengendalian produksi, distribusi, dan konsumsi rokok harus dikuatkan. Jika tidak, kita harus bersiap
menghadapi bencana katastrofik kesehatan yang mempunyai daya hancur tektonis di masa depan.” Senin (25/9).

Pada tahun 2022, sebanyak 23,38 persen pemuda mengaku memiliki keluhan kesehatan dalam sebulan terakhir. Angka tersebut lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Survey BPS juga merekam kenaikan prevalensi perokok anak (usia 18 tahun ke bahwah). Pada tahun 2016 prevalensi perokok anak berkisar 3,39 persen, naik tipis menjadi 3,44 pada 2022. Menurutnya, lemahnya pengaturan zat adiktif produk tembakau membuat masa depan kita rentan. Tingginya konsumsi rokok menempatkan negara ini pada risiko yang tinggi terhadap masalah kesehatan. Berbagai data menunjukkan jebloknya indikator-indikator kesehatan.

Prevalensi perokok naik. Merujuk SUSENAS BPS, pada data agregasi keseluruhan populasi (usia 5 tahun keatas) terjadi kenaikan prevalensi perokok dari 21,50 persen pada 2015 menjadi 23,25 persen pada 2022. Data GATS juga memotret pertumbuhan jumlah perokok yang bertambah 8,8 juta orang, dari 60,3 pada tahun 2011 menjadi 69,1 pada 2021. Prevalensi perokok anak naik. “Kegagalan pencapaian target RPJMN karena pemerintah tak melaksanakan rekomendasi RPJMN yang mengamanahkan penguatan regulasi pengendalian tembakau sebagaimana tercantum dalam rekomendasi 3.4,” ungkapnya.

Berbagai data mengindikasikan target RPJMN 2019-2024 untuk menurunkan prevalensi perokok anak pada angka 8,7 persen teramat sulit terwujud. Hasil Survei Outlook Perokok Pelajar yang dilaksanakan IISD pada 2022, dengan mengambil responden pelajar SMP-SMA, usia 11-19 tahun, sebanyak 27,76% pernah merokok dan sebanyak 10,67% menjadi perokok harian. Dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah mentargetkan penurunan prevalensi perokok anak dari baseline 9,1 persen menjadi 8,7 persen di tahun 2024. Sebelumnya, pada RPJMN 2015-2019 pemerintah juga gagal mewujudkan target prevalensi perokok anak. RPJMN 2015-2019 memasang target prevalensi perokok anak pada angka 5,4% di tahun 2019, tetapi realisasinya justru naik 9,1%.
Sikap negara yang begitu toleran terhadap candu tercermin pada pengaturan Zat Adiktif berupa produk tembakau dalam UU yang disahkan dalam tempo teramat kilat dan memunggungi arus deras aspirasi publik tersebut. Sudah dua kali target penurunan perokok anak pada RPJMN gagal. Negara macam apa yang gagal dua kali RPJMN terus tidak ada upaya yang berarti untuk memperbaiki keadaan. Negara
Ramah Candu Rokok Indonesia merupakan salah satu pasar rokok terbesar di dunia.

Berdasarkan data WHO, pasar rokok Indonesia menempati urutan ketiga setelah tiongkok dan India (147 juta). Di tengah kondisi global di mana konsumsi rokok terus mengalami trend penurunan, Indonesia menjadi semacam anomali. Berdasar data Kemenkeu, 323,88 miliar batang rokok diproduksi pada tahun 2022, naik lebih dari 100 miliar batang dibanding tahun 2005 yang hanya 222 miliar batang. Menurutnya, sudah lama negara ini terlalu ramah pada candu rokok. Tapi sebagai negara yang dibangun diatas visi keadilan sosial, kalkulasi ekonomi dan industri tidak boleh meminggirkan kepentingan kesehatan yang merupakan hak dasar warga negara, dan determinan penting bagi gelap-terangnya masa depan bangsa. (R/Rfs)

ByZhay